Film animasi The Little Prince mencoba cerminkan simbol-simbol dari bukunya dalam sudut pandang masa kini. |
Pernyataan itu dilontarkan jelas di pembukaan film animasi produksi Prancis, The Little Prince.
Sang narator mengisahkan masa kecilnya yang membuat gambar ular yang
memakan gajah bulat-bulat, namun disangka oleh orang dewasa sebagai
gambar topi. Ketika ia memperjelas gambarnya lagi, orang-orang dewasa
menyuruhnya untuk stop menggambar dan memfokuskan diri pada
pelajaran-pelajaran eksakta, karena itulah yang dianggap penting dan
berguna bagi masa depannya.
Seolah paralel dengan itu, adegan berpindah ke situasi masa kini, ketika sepasang ibu muda (diisi suara Rachel McAdams) dan anak gadisnya (Mackenzie Foy)
yang berumur 8 tahun sedang tes wawancara masuk sekolah bergengsi,
Werth Academy. Sekalipun sudah dipersiapkan dengan matang, tes ini
gagal.
Namun, sang ibu masih punya rencana cadangan. Mereka pindah rumah
yang dekat dengan sekolah, dan selama liburan musim panas, sang anak
harus mendedikasikan hari-harinya untuk mempersiapkan diri masuk Werth
Academy. Tak hanya pengaturan jadwal pelajaran, program ketat ini juga
mencakup kegiatan fisik dan diet tepat waktu. Semua demi mempersiapkan
sang anak menghadapi kerasnya persaingan saat ia besar nanti.
Suatu ketika, sang gadis kecil bersinggungan dengan tetangganya, seorang kakek penerbang (Jeff Bridges)
yang tinggal di rumah yang antik dan berwarna. Interaksi mereka semakin
erat ketika sang kakek memberikan sebuah rangkaian cerita bergambar,
tentang pengalamannya bertemu dengan seorang pangeran kecil dari luar
bumi di gurun Sahara. Jika di rumahnya sendiri ia dituntut terus
belajar, sang anak justru bisa menikmati kembali masa kanak-kanaknya
saat bermain bersama sang kakek dan mendengarkan cerita-ceritanya. Hanya
saja, hal ini tidak boleh sampai diketahui sang ibu yang menetapkan
bahwa sang anak tak punya waktu untuk hal lain selain belajar.
Film The Little Prince merupakan adaptasi terbaru dari buku cerita terkenal karya pengarang Prancis, Antoine de Saint-Exupéry. Aslinya, The Little Prince
mengisahkan seorang pangeran kecil dari sebuah asteroid kecil yang
berpetualang hingga ke bumi demi menemukan seekor domba, untuk
membantunya mencegah tumbuhan baobab menguasai asteroidnya. Di dalam
petualangannya, sang pangeran bertemu dengan berbagai macam karakter,
baik yang bersahabat maupun yang tidak. Setiap pertemuan itu pun
memunculkan makna berbeda-beda tentang kehidupan, dari keserakahan,
persahabatan, hingga cinta.
Sebagaimana terlihat, versi film terbaru ini memang tak seluruhnya memindahkan cerita buku The Little Prince, melainkan menjadikannya bagian dari sebuah cerita baru. Cerita asli The Little Prince
dijadikan "cerita di dalam cerita" (ditampilkan dengan teknik animasi
stopmotion, berbeda dengan cerita utamanya yang memakai teknik CGI),
sekaligus sebagai kisah masa lalu sang kakek penerbang yang bertemu
dengan sang pangeran kecil. Dengan cara demikian, film ini hendak
membuat penafsiran dari inti cerita buku The Little Prince, dengan harapan bisa lebih mudah diserap oleh penonton sekarang.
MEMERLUKAN PERENUNGAN
Persoalannya sekarang apakah penafsiran
tersebut bisa benar-benar ditangkap oleh penontonnya. Sebab, film ini
menafsirkan kisah yang penuh simbol dengan simbol yang lain lagi. Kisah
sang pangeran kecil ditampilkan paralel dengan kisah si gadis kecil,
tetapi kedua karakter ini dibuat kontras. Sang pangeran kecil adalah
sosok polos yang merasa kehidupan orang dewasa yang "realistis" begitu
aneh. Sebaliknya, si gadis kecil jadi representasi dari anak-anak yang
kritis dan mempertanyakan keabsahan dari kisah si kakek penerbang yang
penuh hal-hal yang tak masuk akal.
Si gadis kecil merupakan simbol terhadap
apa yang terjadi pada masyarakat modern, ketika anak-anak usia belia
sudah dipaksa untuk sibuk memikirkan masa depan sedetil mungkin,
ketimbang menikmati masa kanak-kanak yang dipenuhi ragam keceriaan,
kepolosan, dan imajinasi. Simbol itu diperkuat dengan tata visual
kehidupan kota yang serba simetris, persegi, dan monokromatis, seakan
semua orang punya pemikiran dan tujuan hidup yang seragam. Sementara,
hanya di rumah sang kakek saja yang bentuknya tak beraturan,
melambangkan bahwa ia tak terpenjara oleh tuntutan lingkungan
sekitarnya, sekaligus menikmati masa-masa yang dahulu terlewatkan dalam
hidupnya—karena sang kakek adalah adalah juga sang narator di awal film.
Untungnya, tata visual dan penuturan akan simbol ini termasuk paling
mudah dicerna.
Tetapi, film ini kemudian melangkah ke
level kompleksitas berbeda ketika sampai pada topik kehidupan dan
kematian. Hal ini juga terdapat dalam kisah sang pangeran kecil, yang
memberikan gambaran ambigu tentang makna "pergi dari bumi". Film ini
membawanya lebih jauh lagi ketika sang gadis kecil juga menuntut
penjelasan tentang hal tersebut pada si kakek. Topik ini seakan
menegaskan bahwa film animasi ini bukan tipe tontonan yang bisa
dinikmati sambil lalu, melainkan menuntut perenungan sesudah menonton.
Terlepas dari warna ceria, tampilan
visualnya yang indah, juga musiknya yang ditata lincah dan megah, sulit
untuk merekomendasikan The Little Prince sebagai sebuah tontonan seluruh
keluarga. Simbol serta nilai-nilai yang dikandungnya tergolong berat
dan mungkin tak bisa ditangkap sekali simak. Pendekatan drama pun lebih
kental dari pada unsur humor yang wajib hadir di film dengan target
penonton keluarga seperti ini.
Tentu saja, itu bukan berarti itu salah.
Di satu sisi, film ini mungkin memang tidak memberikan hiburan sekental
film-film animasi Hollywood, misalnya. Tetapi, di sisi lain film ini
tetap berhasil menjadi sebuah adaptasi yang cukup cermat, ditampilkan
memanjakan mata dan telinga secara estetika, dan mengandung makna yang
mendalam. Paling tidak, itulah yang membuat film ini tetap layak
diingat.
Bagikan
REVIEW FILM The Little Prince, Tafsir Modern Kisah Penuh Simbol
4/
5
Oleh
Anonim
